contact
Test Drive Blog
twitter
rss feed
blog entries
log in

Selasa, 06 April 2010

Penggunaan Web untuk membuat grup dan identitas perseorangan atau kelompok (Groups and identity)

Keterbukaan untuk saling berbagi informasi dan berekspresi di ranah publik (public sphere), khususnya dalam konteks media baru (berbasiskan Internet), tengah mengalami pertumbuhan yang luar biasa di Indonesia. Baik melalui jejaring sosial ataupun media baru lainnya, pewarta warga (citizen journalism) terus berdampingan dengan media mainstream dalam menyampaikan informasi terhangat kepada publik Media baru semacam jejaring sosial juga kerap digunakan untuk menyampaikan kebebasan berpendapat dan berekspresi..
Menurut penghitungan APJII, dari total trafik bandwidth yang mengalir lewat IIX, 80% di antarnya masih berasal dari situs atau layanan luar negeri. Dari hasil riset Yahoo-TNS, 3 (tiga) besar kegiatan yang dilakukan pengguna Internet adalah e-mail, instant messenger dan berkunjung ke situs jejaring sosial. Enam dari sepuluh pengguna Internet mengunjungi situs jejaring sosial setiap bulannya.Facebook adalah situs jejaring yang paling popular di Indonesia.
Hal tersebut sejalan dengan hasil pencatatan Alexa per 8 November 2009, bahwa Facebook saat ini menduduki peringkat teratas sebagai sebuah situs yang paling sering dikunjungi pengguna Internet di Indonesia. Secara berurutan, 10 besar situs yang paling banyak dikunjungi dari Indonesia adalah sebagai berikut:


1. Facebook.com (situs jejaring social)
2. Google.co.id (search engine)
3. Yahoo.com (mail & search engine)
4. Google.com (mail & search engine)
5. Blogger.com (blog service)
6. YouTube.com (video sharing)
7. Wordpress.com (blog service)
8. Kaskus.us (local online forum)
9. Detik.com (local news portal)
10. Wikipedia.com (online encyclopedia)

Tampak dari data di atas, setidaknya ada 3 (tiga) situs utama yang dapat memfasilitas pengguna Internet di Indonesia untuk berekspresi kepada publik dan saling bertukar informasi, yaitu situs jejaring social Facebook dan situs layanan blog Blogger.com dan Wordpress.com. Pertumbuhan blogger di Indonesia juga cukup signifikan. Menurut data dari FeedBurner, yang pernah dimuat oleh Business Week pada 2007, Jakarta adalah masuk dalam jajaran 30 kota dunia dengan aktifitas posting dan komentar terbanyak di blog. Untuk kota-kota di kawasan Asia, selain Jakarta, hanyalah ada Singapura, Beijing dan Mumbai.
Dengan pertumbuhan blogger yang signifikan tersebut, tak heran maka tumbuh pulalah situs layanan blog lokal yang dikelola secara professional. Dua di antaranya adalah situs Blogdetik.com dan Dadgdigdug.com Menurut penyelenggara acara tahunan Pesta Blogger 2009, jumlah blogger di Indonesia hingga akhir 2009 nanti diprediksi akan menembus angka 1 juta orang.
Non-government organization (NGO) lokal seperti Combine Resource Institute dan juga ICT Watch, kerap mengadakan pelatihan tentang pemanfaatan blog kepada simpul masyarakat madani (civil society) untuk pemberdayaan komunitas, publikasi kegiatan, advokasi dan tentu saja meningkatkan transparansi kepada publik.
Berdasarkan hasil survey online yang dilakukan oleh ICT Watch pada Oktober 2008, blog dipilih oleh 53% responden sebagai media informasi yang paling bisa mendukung kebebasan berekspresi di Indonesia. Urutan kedua, 24% responden memilih mailing-list. Survey tersebut diikuti lebih dari 11600 responden, yang bertujuan untuk memetakan persepsi responden terhadap pemanfaatan media bagi kebebasan berekspresi dan memperoleh informasi. Media yang dimaksud di sini adalah dari SMS, cetak, elektronik maupun media berbasis Internet.
Blog, bersama dengan online forum dan mailing-list, diyakini oleh responden sebagai tiga media informasi yang paling tidak bisa dikontrol oleh pemerintah. Dan lagi-lagi blog adalah media informasi yang menurut responden paling tidak perlu diawasi oleh pemerintah.
Saat survei di atas dilakukan, penggunaan social networking seperti Facebook dan micro-blogging semisal Twitter baru mulai menggeliat. Kini, berdasarkan Checkfacebook.com per 8 November 2009, saat ini pengguna Facebook dari Indonesia berjumlah lebih dari 11,7 juta account, dengan 58% pria dan 42% wanita. Dari sisi usia, terbanyak adalah dari 18-24 tahun yaitu 40%, kemudian disusul 25,5% berusia 25-34 tahun dan 21% berusia 14-17 tahun, 8,5% berusia 35-44%. Facebooker, kini mengambil peranan yang signifikan dalam proses penegakan hukum di Indonesia.
Dari sejumlah contoh di atas, maka jelaslah media baru (facebook, blog, dan sebagainya) adalah ranah publik yang memiliki peran signifikan dalam pembentukan kultur dan opini masyarakat. Kebebasan dan keterbukaan dalam berekspresi dan berinformasi dari-oleh-untuk masyarakat dapat tumbuh subur dengan pemanfaatan seoptimal mungkin layanan media baru berbasis Internet tersebut.
Media baru yang alamiahnya bersifat cair, dapat seketika mengkristal dan menjadi sebuah parlemen online! Ketika saluran formal untuk menyampaikan aspirasi dan partisipasi publik tersumbat, maka media baru menjadi sarana yang ampuh. Para anggota parlemen online ini merasa lebih bebas berekspresi, berpendapat, menyampaikan ketidakpuasan serta mengkritik para perilaku elit politik dan penegak hukum yang dianggap mencla-mencle. Parlemen online ini pun segera mendapatkan respon masyarakat yang kian luas dalam berbagai bentuk, termasuk dalam bentuk aksi turun ke jalan.
Meskipun demikian, kemampuan untuk mengoptimalkan media baru (Internet) tersebut di atas ternyata tidak selalu berbanding lurus dengan pemahaman masyarakat, atau setidaknya penggunanya, atas aspek kebijakan dan hukum yang terkait.
Sejumlah kasus di Indonesia menunjukkan bahwa terdapat kesenjangan antara kebebasan berpendapat yang dikemukakan secara online dengan tindakan hukum yang menyertainya. Dengan mudah, kini seseorang yang melakukan posting pendapat, ekspresi ataupun informasinya melalui media baru, dapat didakwa melakukan perbuatan melanggar undang-undang. Ada ketidaktahuan yang cukup luas tentang apa dan bagaimana melakukan posting di media baru, khususnya agar tidak terjerat pada kasus hukum. Tidak sedikit pula yang kini mulai berhati-hati, atau bahkan cenderung khawatir, untuk melakukan posting lantaran tidak ingin terjerat pada hal-hal yang dirasa dapat merugikan dirinya.
Masalah kebebasan berekspresi di media baru, menjadi isu yang sangat serius pada ajang Internet Governance Forum (IGF) di Sharm El Sheikh – Mesir yang saya ikuti. Kebebasan berekspresi, sebagai merupakan konsensus internasional yang diakui pula oleh PBB, adalah hal yang harus dijunjung tinggi. Diskusi menghangat pada sesi utama di hari ke-2, Senin (16/11/2009), terkait dengan perlu atau tidaknya kebebasan berekspresi diatur dalam peraturan pemerintah. Pastinya, jika memang perlu ada peraturan pemerintah, sudah seharusnya peraturan tersebut adalah menjamin kebebasan berekspresi itu sendiri, ketimbang sebaliknya.
Peraturan pemerintah, dalam diskusi yang juga menghadirkan panelis dari aktifis komunitas peneliti kebebasan berekspresi OpenNet Asia Initiative dimana saya termasuk bagian darinya, diminta untuk tidak kemudian justru menghambat atau membatasi hak asasi manusia. Kalaupun ada yang perlu dihambat dan dibatasi, adalah penghambatan atau pembatasan kepada hal-hal yang ujung-ujungnya hanya memberikan proteksi kepada segelintir pihak saja untuk dapat berekspresi!
Penghambatan dan pembatasan juga dimungkinkan, jika memang ada kaitannya dengan masalah keamanan dan kenyamanan anak-anak di Internet, penyebaran kebencian terhadap agama atau ras tertentu, dan juga masalah keamanan negara semisal terorisme. Dan itu harus dilakukan oleh pihak-pihak yang berkompeten dan netral dalam konteks untuk melindungi kebebasan berekspresi itu sendiri.
Jangan sampai justru kewenangan untuk melakukan penghambatan dan pembatasan tersebut akhirnya berujung pada menghasilkan sebuah teknologi untuk melakukan penyensoran dan filtering atas komunikasi elektronik yang rentan disalahgunakan untuk keperluan penguasa atau segelintir pihak saja, untuk melakukan penekanan kepada pihak lain.
Kewenangan untuk melakukan penghambatan dan pembatasan haruslah pada kriteria yang benar-benar dibatasi, seperti disebut di atas. Semisal jika terkait dengan masalah perlindungan anak, kebencian terhadap rasa dan agama tertentu sertaterorisme.
Tetapi kita, seperti ditekankan oleh para panelis, harus menolak penghambatan dan pembatasan yang cenderung hanya untuk melindungi ideologi, filosofi, ataupun situasi politik tertentu. Baik yang dilakukan oleh pemerintah, partai politik, organisasi masyarakat atau siapapun yang memiliki kepentingan langsung ataupun tidak langsung pada (hasil dari) pembatasan dan penghambatan hak berekspresi dan berinformasi di media baru tersebut.

REFERENSI ISI POSTING




0

0 komentar:

Posting Komentar

Text

mY tWeeeeeeTT

Followers