contact
Test Drive Blog
twitter
rss feed
blog entries
log in

Senin, 10 Mei 2010


1.Latar belakang masalah
Teknologi informasi telah mengubah perilaku dan pola hidup masyarakat secara global. Perkembangan teknologi informasi telah pula menyebabkan dunia menjadi tanpa batas (borderless) dan menyebabkan perubahan sosial, budaya, ekonomi dan pola penegakan hukum yang secara signifikan berlangsung demikian cepat. Teknologi informasi saat ini menjadi pedang bermata dua, karena selain memberikan kontribusi bagi peningkatan kesejahteraan, kemajuan dan peradaban manusia, sekaligus menjadi sarana efektif perbuatan melawan hukum.
Untuk mengatasi hal ini tidak lagi dapat dilakukan pendekatan melalui sistem hukum konvensional, mengingat kegiatannya tidak lagi bisa dibatasi oleh teritorial suatu negara, aksesnya dengan mudah dapat dilakukan dari belahan dunia manapun, kerugian dapat terjadi baik pada pelaku transaksi maupun orang lain yang tidak pernah berhubungan sekalipun, misalnya dalam pencurian dana kartu kredit melalui pembelanjaan di internet.
Di samping itu masalah pembuktian merupakan faktor yang sangat penting, mengingat data elektronik bukan saja belum terakomodasi dalam sistem hukum acara Indonesia, tetapi dalam kenyataannya data dimaksud juga ternyata sangat rentan untuk diubah, disadap, dipalsukan dan dikirim ke berbagai penjuru dunia dalam waktu hitungan detik. Sehingga dampak yang diakibatkannya pun bisa terjadi demikian cepat, bahkan sangat dahsyat. Teknologi infomasi dan komunikasi telah menjadi instrumen efektif dalam perdagangan global dan sekaligus perbuatan melawan hukum dan kejahatan. Ironinya dalam kedaan transaksi dan kegiatan virtual telah meningkat demikian tinggi dan cepat, justru kita belum memiliki regulasi yang mengatur tentang Cyber Law.

2. Penjelasan mengenai UU ITE
Untuk diketahui, UU ITE mulai dirancang sejak Maret 2003 oleh Kementerian Negara Komunikasi dan Informasi (Kominfo) dengan nama Rancangan Undang Undang Informasi Elektronik dan Transaksi Elektronik (RUU-IETE). Semula RUU ini dinamakan Rancangan Undang Undang Informasi Komunikasi dan Transaksi Elektronik (RUU IKTE) yang disusun oleh Ditjen Pos dan Telekomunikasi - Departemen Perhubungan serta Departemen Perindustrian dan Perdagangan, bekerja sama dengan Tim dari Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran (Unpad) dan Tim Asistensi dari ITB, serta Lembaga Kajian Hukum dan Teknologi Universitas Indonesia (UI).

Pada tanggal 5 September, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melalui surat No. R./70/Pres/9/2005 menyampaikan naskah RUU ITE secara resmi kepada DPR RI. Merespon surat Presiden tersebut, DPR membentuk Panitia Khusus (Pansus) RUU ITE yang beranggotakan 50 orang dari 10 (sepuluh) Fraksi di DPR RI. Pemerintah melalui Departemen Komunikasi dan Informatika membentuk "Tim Antar Departemen Dalam rangka Pembahasan RUU ITE Antara Pemerintah dan DPR RI" dengan Keputusan Menteri Komunikasi dan Informatika No. 83/KEP/M.KOMINFO/10/2005 tanggal 24 Oktober 2005 yang kemudian disempurnakan dengan Keputusan Menteri No.: 10/KEP/M.Kominfo/01/2007 tanggal 23 Januari 2007 dengan Pengarah: Menteri Komunikasi dan Informatika, Menteri Hukum dan HAM, Menteri Sekretaris Negara, dan Sekretaris Jenderal Depkominfo, dan melibatkan Departemen Hukum dan HAM, Departemen Perdagangan, Kejaksaan Agung, Polri, Bank Indonesia, Bank BUMN, Operator Telekomunikasi dan Akademisi serta Praktisi TIK.

Secara umum, bisa kita simpulkan bahwa UU ITE boleh disebut sebuah cyberlaw karena muatan dan cakupannya luas membahas pengaturan di dunia maya, meskipun di beberapa sisi ada yang belum terlalu lugas dan juga ada yang sedikit terlewat. Muatan UU ITE kalau saya rangkumkan adalah sebagai berikut:

Kehadiran UU ITE ini sudah sangat dinantikan publik. Beberapa alasan yang dikemukakan publik bahwa UU ITE akan memberikan manfaat, sebagai berikut:

  • Menjamin kepastian hukum bagi masyarakat yang melakukan transaksi secara elektronik
  • Mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia
  • Sebagai salah satu upaya untuk mencegah terjadinya kejahatan berbasis teknologi informasi
  • Melindungi masyarakat pengguna jasa dengan memanfaatkan teknologi informasi.

Adapun terobosan-terobosan penting yang dimiliki RUU ITE adalah :

  •  Tanda Tangan Elektronik diakui memiliki kekuatan hukum yang sama dengan tandatangan konvesional (tinta basah dan materai)
  • Alat bukti elektronik diakui seperti alat bukti lainnya yang diatur dalam KUHAP
  • Undang-undang ITE berlaku untuk setiap orang yang melakukan perbuatan hukum baik yang berada di wilayah Indonesia maupun di luar Indonesia, yang memiliki akibat hukum di Indonesia

3. Cybercrime dan Cyberlaw
UU ITE dipersepsikan sebagai cyberlaw di Indonesia, yang diharapkan bisa mengatur segala urusan dunia Internet (siber), termasuk didalamnya memberi punishment terhadap pelaku cybercrime. Apabila memang benar cyberlaw, perlu kita diskusikan apakah kupasan cybercrime sudah semua terlingkupi? Di berbagai literatur, cybercrime dideteksi dari dua sudut pandang:

1. Kejahatan yang Menggunakan Teknologi Informasi Sebagai Fasilitas: Pembajakan, Pornografi, Pemalsuan/Pencurian Kartu Kredit, Penipuan Lewat Email (Fraud), Email Spam, Perjudian Online, Pencurian Account Internet, Terorisme, Isu Sara, Situs Yang Menyesatkan, dsb.

2. Kejahatan yang Menjadikan Sistem Teknologi Informasi Sebagai Sasaran: Pencurian Data Pribadi, Pembuatan/Penyebaran Virus Komputer, Pembobolan/Pembajakan Situs, Cyberwar, Denial of Service (DOS), Kejahatan Berhubungan Dengan Nama Domain, dsb.


5. Cybercrime terkadang menyulitkan???

  • Kegiatan dunia cyber tidak dibatasi oleh teritorial Negara

  • Kegiatan dunia cyber relatif tidak berwujud

  • Sulitnya pembuktian karena data elektronik relatif mudah untuk diubah, disadap, dipalsukan dan dikirimkan ke seluruh belahan dunia dalam hitungan detik

  • Pelanggaran hak cipta dimungkinkan secara teknologi

  • Sudah tidak memungkinkan lagi menggunakan hukum konvensional. Analogi masalahnya adalah mirip dengan kekagetan hukum konvensional dan aparat ketika awal mula terjadi pencurian listrik. Barang bukti yang dicuripun tidak memungkinkan dibawah ke ruang sidang. Demikian dengan apabila ada kejahatan dunia maya, pencurian bandwidth, dsb

6. Keterlibatan INDONESIA dalam dunia Cybercrime

  • Indonesia meskipun dengan penetrasi Internet yang rendah (8%), memiliki prestasi menakjubkan dalam cyberfraud terutama pencurian kartu kredit (carding). Menduduki urutan 2 setelah Ukraina (ClearCommerce)

  • Indonesia menduduki peringkat 4 masalah pembajakan software setelah China, Vietnam, dan Ukraina (International Data Corp)

  • Beberapa cracker Indonesia tertangkap di luar negeri, singapore, jepang, amerika, dsb

  • Beberapa kelompok cracker Indonesia ter-record cukup aktif di situs zone-h.org dalam kegiatan pembobolan (deface) situs

  • Kejahatan dunia cyber hingga pertengahan 2006 mencapai 27.804 kasus (APJII)

  • Sejak tahun 2003 hingga kini, angka kerugian akibat kejahatan kartu kredit mencapai Rp 30 milyar per tahun (AKKI)

  • Layanan e-commerce di luar negeri banyak yang memblok IP dan credit card Indonesia. Meskipun alhamdulillah, sejak era tahun 2007 akhir, mulai banyak layanan termasuk payment gateway semacam PayPal yang sudah mengizinkan pendaftaran dari Indonesia dan dengan credit card Indonesia

Jadi kesimpulannya, cyberlaw adalah kebutuhan kita bersama. Cyberlaw akan menyelamatkan kepentingan nasional, pebisnis Internet, para akademisi dan masyarakat secara umum, sehingga harus kita dukung. Nah masalahnya adalah apakah UU ITE ini sudah mewakili alias layak untuk disebut sebagai sebuah cyberlaw?

7. Perbandingan mengenai Undang-Undang ITE antar Negara ASEAN

a. Mengenai transaksi elektronik antar Negara
• Indonesia
UU ITE menerangkan bahwa konsumen berhak untuk mendapatkan informasi yang lengkap berkaitan dengan detail produk, produsen dan syarat kontrak.
• Malaysia
Communications and Multimedia Act 1998 menyebutkan bahwa setiap penyedia jasa layanan harus menerima dan menanggapi keluhan konsumen.
• Filipina
Electronic Commerce Act 2000 dan Consumer Act 1991 menyebutkan bahwa siapa saja yang menggunakan transaksi secara elektronik tunduk terhadap hukum yang berlaku.
Sedangkan pada negara ASEAN lainnya, hal tersebut belum diatur.

b. Perlindungan terhadap data pribadi serta privasi.
• Singapura
Sebagai pelopor negara ASEAN yang memberlakukan cyberlaw yang mengatur e-commerce code untuk melindungi data pribadi dan komunikasi konsumen dalam perniagaan di internet.
• Indonesia
Sudah diatur dalam UU ITE.
• Malaysia & Thailand
Masih berupa rancangan,
Sedangkan pada negara ASEAN lainnya, hal tersebut belum diatur.

c.Cybercrime
Sampai dengan saat ini ada delapan negara ASEAN yang telah memiliki cyberlaw yang mengatur tentang cybercrime atau kejahatan di internet yaitu Brunei, Malaysia, Myanmar, Filipina, Singapura, Thailand, Vietnam dan termasuk Indonesia melalui UU ITE yang disahkan Maret 2008 lalu.

d.Spam
Spam dapat diartikan sebagai pengiriman informasi atau iklan suatu produk yang tidak pada tempatnya dan hal ini sangat mengganggu.
• Singapura
Merupakan satu-satunya negara di ASEAN yang memberlakukan hukum secara tegas terhadap spammers (Spam Control Act 2007)
• Malaysia & Thailand
Masih berupa rancangan.
• Indonesia
UU ITE belum menyinggung masalah spam.
Sementara di negara ASEAN lainnya masih belum ada.

e.Peraturan Materi Online / Muatan dalam suatu situs
Lima negara ASEAN yaitu Brunei, Malaysia, Myanmar, Singapura serta Indonesia telah menetapkan cyberlaw yang mengatur pemuatan materi online yang mengontrol publikasi online berdasarkan norma sosial, politik, moral, dan keagamaan yang berlaku di negara masing-masing.

f. Hak Cipta Intelektual atau Digital Copyright
Di ASEAN saat ini ada enam negara yaitu Brunei, Kamboja, Indonesia, Filipina, Malaysia dan Singapura yang telah mengatur regulasi tentang hak cipta intelektual.
Sementara negara lainnya masih berupa rancangan.

g.Penggunaan Nama Domain
Saat ini ada lima negara yaitu Brunei, Kamboja, Malayasia, Vietnam termasuk Indonesia yang telah memiliki hukum yang mengatur penggunaan nama domain. Detail aturan dalam setiap negara berbeda-beda dan hanya Kamboja yang secara khusus menetapkan aturan tentang penggunaan nama domain dalam Regulation on Registration of Domain Names for Internet under the Top Level ‘kh’ 1999.

h.Electronic Contracting
Saat ini hampir semua negara ASEAN telah memiliki regulasi mengenai Electronic contracting dan tanda tangan elektronik atau electronik signatures termasuk Indonesia melalui UU ITE.
Sementara Laos dan Kamboja masih berupa rancangan.
ASEAN sendiri memberi deadline Desember 2009 sebagai batas waktu bagi setiap negara untuk memfasilitasi penggunaan kontrak elektronik dan tanda tangan elektonik untuk mengembangkan perniagaan intenet atau e-commerce di ASEAN.

i..Online Dispute resolution (ODR)
ODR adalah resolusi yang mengatur perselisihan di internet.
• Filipina
Merupakan satu-satunya negara ASEAN yang telah memiliki aturan tersebut dengan adanya Philippines Multi Door Courthouse.
• Singapura
Mulai mendirikan ODR facilities.
• Thailand
Masih dalam bentuk rancangan.
• Malaysia
Masih dalam tahap rancangan mendirikan International Cybercourt of Justice.
• Indonesia
Dalam UU ITE belum ada aturan yang khusus mengatur mengenai perselisihan di internet.
Sementara di negara ASEAN lainnya masih belum ada. ODR sangat penting menyangkut implementasinya dalam perkembangan teknologi informasi dan e-commerce.
• Indonesia
UU ITE menerangkan bahwa konsumen berhak untuk mendapatkan informasi yang lengkap berkaitan dengan detail produk, produsen dan syarat kontrak.
• Malaysia
Communications and Multimedia Act 1998 menyebutkan bahwa setiap penyedia jasa layanan harus menerima dan menanggapi keluhan konsumen.
• Filipina
Electronic Commerce Act 2000 dan Consumer Act 1991 menyebutkan bahwa siapa saja yang menggunakan transaksi secara elektronik tunduk terhadap hukum yang berlaku.
Sedangkan pada negara ASEAN lainnya, hal tersebut belum diatur.

8. KESIMPULAN
UU ITE adalah cyberlaw-nya Indonesia, kedudukannya sangat penting untuk mendukung lancarnya kegiatan para pebisnis Internet, melindungi akademisi, masyarakat dan mengangkat citra Indonesia di level internasional. Cakupan UU ITE luas (bahkan terlalu luas?), mungkin perlu peraturan di bawah UU ITE yang mengatur hal-hal lebih mendetail (peraturan mentri, dsb). UU ITE masih perlu perbaikan, ditingkatkan kelugasannya sehingga tidak ada pasal karet yang bisa dimanfaatkan untuk kegiatan yang tidak produktif



Dari perbandingan diatas dapat disimpulkan bahwa ada beberapa hal penting yang belum dimiliki UU ITE Indonesia dalam kaitannya untuk pengembangan e-commerce yaitu ;

1. Masalah Spam.
2. Resolusi yang mengatur perselisihan di internet.

Selain 2 hal di atas yang memang belum diatur di UU ITE, beberapa hal lain yang perlu mendapat perhatian lebih dari pemerintah adalah :
1. Virus dan worm komputer (masih implisit di Pasal 33), terutama untuk pengembangan dan penyebarannya.
2. Pasal yang boleh disebut krusial dan sering dikritik adalah Pasal 27-29, khusus Pasal 27 pasal 3 tentang muatan pencemaran nama baik.
Terlihat jelas bahwa Pasal tentang penghinaan, pencemaran, berita kebencian, permusuhan, ancaman dan menakut-nakuti ini cukup mendominasi di daftar perbuatan yang dilarang menurut UU ITE. Bahkan sampai melewatkan masalah spamming, yang sebenarnya termasuk masalah vital dan sangat mengganggu di transaksi elektronik.
Pasal 27 ayat 3 ini yang juga dipermasalahkan juga oleh Dewan Pers bahkan mengajukan judicial review ke mahkamah konstitusi. Perlu dicatat bahwa sebagian pasal karet (pencemaran, penyebaran kebencian, penghinaan, dsb) di KUHP sudah dianulir oleh Mahkamah Konstitusi.
Pasal 27 ayat 3 ini dikhawatirkan akan mengekang kebebasan diskusi dan keterbukaan informasi. Kita semua tentu tidak berharap bahwa seorang blogger harus didenda 1 miliar rupiah karena mempublish posting berupa komplain terhadap suatu perusahaan yang memberikan layanan buruk, atau posting yang meluruskan pernyataan seorang “pakar” yang salah konsep atau kurang valid dalam pengambilan data. Kekhawatiran ini semakin bertambah karena pernyataan dari seorang staff ahli depkominfo bahwa UU ITE ditujukan untuk blogger dan bukan untuk pers. Pernyataan ini bahkan keluar setelah P. Nuh (Menkominfo) menyatakan bahwa blogger is part of depkominfo family. Padahal sudah jelas bahwa UU ITE ditujukan untuk setiap orang.
3. Tentang kesiapan aparat dalam implementasi UU ITE, apakah para aparat negeri kita siap untuk menangani kasus-kasus cybercrime ini?? Mengingat selama ini aparat Indonesia kurang sigap dalam menangani kasus-kasus yang ada di negeri ini. Di Amerika, China dan Singapore melengkapi implementasi cyberlaw dengan kesiapan aparat. Child Pornography di Amerika bahkan diberantas dengan memberi jebakan ke para pedofili dan pengembang situs porno anak-anak.
4. Dalam UU ITE ini Pemerintah memasukkan semua unsur cybercrime dalam satu peraturan sehingga kurang spesifik dalam membahas suatu pelanggaran, sedangkan bila dibandingkan dengan negara lain undang-undangnya dipisah-pisah menjadi beberapa peraturan, yaitu tentang transaksi elektronik tersendiri, tanda tangan digital, maupun kejahatan penyalahgunaan komputer juga tersendiri. Konsep undang-undang negara lain terlihat begitu matang dan spesifik sedangkan UU ITE ini masih banyak sekali kekurangannya.
Untuk itu diharapkan kedepan UU ITE perlu diperbaiki, atau ditingkatkan cakupannya meliputi hal-hal yang lebih mendetail untuk lebih mengangkat kredibilitas indonesia dalam perkembangan e-commerce di ASEAN khususnya dan di dunia pada umumnya, apalagi untuk menyambut pasar bebas pada masa yang akan datang.

REFERENSI ISI POSTING

0

Text

mY tWeeeeeeTT

Followers